caraku untuk kenangan

people change,
time changes people.
only memories will stay,
though not that long.

akan tiba masa itu,
aku tahu,
ketika mata tak jelas lagi menangkap fokus pandangan,
ketika telinga hanya bisa mendengar sayup kejauhan,
ketika diri tak mampu mengingat,
memori tergerus,
bukan oleh sesiapapun.
ini perkara waktu.

aku tahu,
aku sangat tahu itu.
sesekali atau malah berkali-kali aku dibuat takut karnanya.
lebih tepatnya cemas.
iya,
mungkin bukan cuma aku, kamu? kamu?
ya, kamu tidak takut?
cemas barangkali?

sebenarnya yang paling mengerikan buatku adalah,
membayangkan aku tanpa sedikitpun ingatan yang tersisa,
remehan, bahkan sepotek kenangan yang lenyap tanpa jejak.
lebih mengerikan dari sekedar kehilangan stock keju dan roti gandum.
lebih mengerikan  dari sekedar kehabisan koleksi tazmania.
lebih mengerikan dari sekedar warna pink, atau oranye.
lebih mengerikan dari sekedar monster berdarah dingin, seperti ayam jago dan sebangsanya.
lebih mengerikan dari sekedar ocehan bos di kantor.
lebih mengerikan dari seretnya isi dompet di akhir bulan.
se-mengerikan itu lah ingatan untuk kenangan.

jepretan kamera,
caranya
menjebak kenangan dalam jelmanya menjadi potongan gambar.

gonjrengan gitar,
caranya
mengalunkan kenangan dalam indahnya nada dan irama.

lengkingan suara,
caranya
melantunkan kenangan dengan sedemikian merdu.

pejaman mata,
yang mengendapkan kenangan.
tutur sapa,
yang menyegarkan kenangan,
genggaman,
yang menghangatkan kenangan
cercaan,
kehampaan,
ada dalam setiap kata yang aku tata di sini.

kesemuanya ada,
dan akan tetap ada.
beginilah caraku mengunci kenangan.
dalam tulisan.

nada irama

bicara persoalan nada dan irama,
mereka sudah begitu familiar untukku, terutama telingaku.
iya, sedari kecil, ayahku sudah begitu kerasnya berusaha memperkenalkan aku untuk sedemikian dekat dan akrab dengan mereka.
usaha demi usaha dikerahkannya demi aku..
dan ya ternyata aku dengan sukarela menerima keberadaan mereka dalam hidupku.
cukuplah sampai saat itu.
lanjutnya, usaha ayah aku ambil alih,
yaitu dengan inisiatif untuk mengikuti les vokal.
untuk tahap pertama, les vokal berjalan dengan cukup baik.
leganya diri ini mampu menyerap materi seperti teknik pengambilan nafas untuk menghasilkan suara yang variatif. begitupun dengan tahap-tahap selanjutnya.
"aku cinta dengan mereka,"
begitulah kiranya kalimat yang bisa aku cetuskan dalam pikiran pada saat itu.

waktu demi waktu aku jalani bersama mereka.
bukti nyatanya adalah keikutsertaanku dengan grup paduan suara yang ada di sekolahku, dan juga kompetisi.
ya meski begitu, ayah lah yang bersikeras mengikutsertakan aku di setiap kompetisi..
pikirku dulu, kecintaanku untuk nada dan irama cukup untuk aku seorang, tanpa harus membuatnya menjadi sebuah kompetisi.
tapi yah tapi, kecintaanku tersebut telah membangkitkan obsesi ayahku.
hm eheh, yaa.. seperti menjadikan anaknya menjadi seorang penyanyi.
haha.. lucunya saat itu,
semakin keras usaha ayah untuk mewujudkan obsesinya, semakin kuat tolakanku dan menjauhlah aku dari mereka..
iya, begitulah aku.
sedari dulu, aku sudah benci dengan paksaan..
kesukarelaanku telah menghasilkan sesuatu di luar prediksiku.
obsesi?
kompetisi?

tahun berjalan..
aku semakin enggan menunjukkan kebisaanku depan orang banyak..
menunduklah aku pada ketidakpercayaan-diri.
aku jalani hidupku tanpa kompetisi.
tanpa kehilangan kecintaanku pada nada dan irama,
aku tetap menjaganya,
yah, tanpa harus aku bagi untuk khalayak.

kini,
iya, sampai saat ini.
dan kali ini, aku mendapati mereka kembali.
di sini,
ada garis lengkung yang pada akhirnya mengembang.
di sini,
parahnya aku seringkali dibuat galau.
di sini,
emosi meluap karnanya.
sedih. senang. tanpa alasan.
ah sudah tau alasannya mereka.
ya, begitu magisnya nada dan irama,

mereka begitu dekat, ah, terlalu dekat.

tanpa tolakan yang sebelumnya bisa aku ciptakan,
menyusup masuk ke sini tanpa adanya permisi.
begitu jahat? terlalu baik agaknya.
puji untuk nada dan irama ini tak terbantahkan.
syukur karnanya.


kali ini,
nada dan irama bukan hanya familiar dan akrab untuk telingaku.
tapi juga hatiku.
demikian jujurku.



perahu kertas

"tertampar" ya begitulah rasanya.

sebuah layar putih dan lebar terpasang di hadapan.
hari itu, barisan bangku-bangku tak begitu banyak ditempati.
hanya beberapa gelintir anak muda yang ada disitu.
ya, aku ada diantaranya,
duduk bersila di atas bangku penonton dengan posisi tangan yang penuh dengan makanan.

layar di depanku sudah tidak putih lagi,
ada sesuatu disana..
ada orang yang sedang membuka kata untuk menjadi cerita,
dan aku, berada di tempatku dengan mata yang tertuju pada layar yang sudah tak putih itu, sembari sesekali memasukan kentang goreng dan burger ke dalam mulutku dengan membabi-buta.
katanya orang sih layar itu akan menampilkan sebuah cerita, yang juga katanya diambil dari sebuah novel hasil karya anak bangsa.
tapi,
bukan.. bukan itu yang nyatanya aku lihat.
sesuatu di sana, seseorang di sana, tampak sudah tak asing lagi.
dengan seksama aku mengamati layar dan orang yang ada disana.
bukan, itu bukan cerita, orang itu bukan dia,
tapi aku?
entah bagaimana caranya aku berada di sana.
itu aku?
kata-kata yang berkelebatan.. kegundahan yang terselip.. mimpi yang nyata ada di sana..
semuanya memang begitu.
iya, begitu.
seperti itu.

ada rasa yang tidak bisa aku ungkap dan gambarkan di "sini".
dan di sana?
semuanya begitu nyata menamparku.
pipiku tiba-tiba merasa hangat, rupanya ada yang baru saja mengalir di sana.
dengan perlahan aku benamkan badanku, menyilangkan tangan demi mendekap kakiku..

aku sudah tidak ada di sana, ternyata.
ya di tempatku.
aku lenyap.
layarpun lenyap.

ada yang salah dengan jawaban yang aku lontarkan?
jika iya, jawab saja dengan lantang.

ketika kamu mengharapkan sebuah jawaban yang kamu kehendaki,
tolong jangan suguhkan pertanyaan itu untukku.

karna jawaban yang aku lontarkan akan tetap salah untukmu,
tolong jangan ulangi pertanyaan itu untukku.

bisa?

semua karna lapar.

beginilah jahatnya lapar yang datang di tengah malam.. iya. dia buatku terjaga semalaman, ga karuan.
yang lebih jahatnya lagi, aku ga cuman bisa diam.
sekelebat tanya selalu saja mampir di kepalaku.
barangkali hanya untuk memastikan bahwa si sang empunya pikiran masih dalam keadaan waras wal'afiat.
yang artinya, aku masih dibuat pusing oleh pertanyaan yang kadang tak menemui jawaban.
yah.. aku selalu yakin tentang hal itu.
bahwasanya, orang waras selalu menemui kepusingan tentang itu, eh atau sebaliknya? haha..

hmm..
pernah cukup yakin bahwa setiap pertanyaan pasti mempunyai jawaban?
aku pernah.
ketika seseorang dengan bersusah payah membuktikan bahwa.. yaah! tiap pertanyaan itu selalu punya jawaban looohh..
dengan penuh semangat membara dia mengeluarkan bermacam contoh pertanyaan yang pada akhirnya menemui jawabannya.
tapi bagaimana dengan pertanyaan yang satu ini?
pertanyaan yang kadang berkelebat di otakku.. yang kadang kala muncul, timbul tenggelam kiranya.
pertanyaan ini memang cuman aku saja yang tau, dan barangkali cuman aku (lagi) yang tau jawabannya.
tapi justru itu, aku sendiri pun ga pernah tau sampai kapan pertanyaan ini akan menemui jawabannya.
atau malah gakan pernah ketemu jawabannya sampai kapanpun?

katanya orang sih, ini yang dibilang masa transisi.
ketika kamu dihadapkan dengan berbagai pertanyaan yang (nampaknya) ga pernah menemui jawabannya.
yah ketika kamu merasa kalah karena sekeras apapun kamu berpikir, ulang dan mundur serta runut, pada akhirnya kamu tetap tak menemui jawaban.

yah..
untuk pertanyaan ini, barangkali cuman aku yang tau.
untuk jawaban, mungkin kamu tau?
tak juga ya?

ah, beginilah jahatnya lapar.

sempat, aku merasa ada yang hilang.
tiada yang bisa menggenapkan bahagiaku selain mereka.
tanpa adanya cerita yang bisa aku bagi (lagi),
tanpa adanya sedih yang aku keluhkan (lagi),
tanpa adanya ceria yang aku tularkan (lagi),
yah, kosong.

Dulu, ada sebuah ruangan yang dengan sengaja aku sekat dan sisihkan untuk mereka.
yang akhirnya, sekarang tak terpakai.
mereka bukan dengan sengaja meninggalkan ruangan itu.
mereka perlahan menghilang, yang mungkin dengan tanpa sengaja meninggalkan aku seorang.

bahagiaku ga akan pernah menjadi genap, pikirku dulu.

syukur.
ya mungkin hal tersebutlah yang sanggup menggenapkan bahagiaku sekarang.

untuk sesuatu yang menenangkan dan menyenangkan.
yah, untuk rasa disayang tanpa pamrih.

untuk sepotong tanya.

Aku pernah bilang kan kalo aku lebih suka menulis ketimbang berbicara?
Untuk tanya yang terlontar mungkin aku biarkan tetap menjadi pertanyaan..
Disini, mungkin aku akan memberikan beberapa jawaban mengenai alasan..
Yah, alasan terkait cita-cita dan mereka.

Mari ikuti aku merunut mundur..
Kembali pada aku dengan pribadiku yang pemberontak.
Yah, aku memberontak dengan keadaanku sebagai perempuan.
Apa yang salah?
Bukan wujud atau kodratku yang terlahir sebagai perempuan, bukan.. bukan perkara itu.
Hal ini lebih condong pada persepsi atau pandangan sebagian besar orang terhadap perempuan.
Ya, termasuk kedua orangtuaku yang sering berkoar-koar mengenai ketentuan hidup sebagai perempuan bahwa tidak lah perlu terlalu ngoyo atau ambisius dengan cita-cita.
Yah, jujur saja aku ini dulu orang yang ambisius.. ambisius dengan cita-citaku lintas negara dan menjadi paling baik.. bukan hanya baik loh ya.
Baik dalam artian aku bisa mengembangkan semua kebisaan yang dititipkan padaku di kemudian hari.
Begitu inginnya aku bisa ini-itu, dimulai dari les vokal, les tari, les bahasa, les berhitung, tapi tidak dengan les menggambar. Yah, itu kelemahanku dari dulu, urusan menggambar, angkat tangan dan angkat senjata.
Dari kecil aku tidak biasa dipaksa, yah semua les-les yang aku ikuti emang berdasar pada keinginanku. Ga pernah tuh orangtua ku dengan sengaja menyuruh atau mendaftarkan aku untuk mengikuti kursus atau les.
Yah, ga pernah sama sekali.
Dimulai dari sekolah dasar, aku sudah tau kalo aku jatuh cinta sama Bahasa Inggris, yah dari dulu nilai untuk pelajaran ini memang sangat menonjol.. Guru-guru sering mengikutsertakan aku lomba pidato atau cerdas cermat dalam bahasa Inggris, ya walopun emang ga menang.. hhe. Saat aku menginjak kelas 3 SD aku minta ayahku untuk mendaftarkanku ke Cinderella, ya sebuah tempat les bahasa Inggris.
Ini murni keinginanku. Dengan jarak yang cukup jauh dari rumah nenek, ayahku sempat ragu untuk mendaftarkanku, tapi berhubung sudah tau sifat anaknya yang keras-kepala. Akhirnya, aku les, sendiri. Tanpa aku mengajak teman, dan peduli kalo aku sendiri. "Sebodo amat yang penting aku mau les." Begitu pikirku dulu.

Dari situ aku semakin jatuh cinta dengan Bahasa Inggris, dan makin, makin, makin, berambisi untuk pergi lintas dunia.

Tibalah, aku pada masa kuliah.
Yah, jalan-Nya sudah membawaku semakin dekat dengan cita-citaku, (atau memang otakku saja yang tidak menunjang untukku masuk ke Farmasi.. hha)
Ya, Aku masuk di sebuah fakultas Sastra dengan jurusan Sastra Inggris.
Dari sinilah aku mulai tercekoki oleh pembahasan terkait pandangan atau paradigma mengenai perempuan dan laki-laki.
Dan saat itulah, aku menjadi pemberontak.
Saat aku dan ibuku berbincang mengenai masa depan dan dengan santainya Ibu bilang bahwa, "Ga usahlah kita (sebagai perempuan) terlalu mengejar cita-cita, kalo laki-laki barulah haruuss.."
Mendengar kalimat itu, otak dan hati langsung berasa panas, yaah.. aku marah.
aku ga terima pendapat itu, aku ga suka pendapat itu.
Hidup bukan perkara perempuan dan laki-laki.
"Hidup adalah hidup itu sendiri," pikirku.
Aku jelaskan pada ibu bahwa aku akan mengejar citacitaku setinggi apapun.
YAH! itu janjiku pada diriku saat itu. (pada saat itu mungkin aku baru menginjak umur 20 tahun, masih imut lah).

DAN, mereka.
Yah, mereka.
Seperti tanya yang kalian lontarkan padaku tentang mereka dan alasan mengapa aku begini, aku begitu.
Yah, mereka. sama dengan ibuku.
Seperti itu.
Hidup menurut mereka adalah perkara perempuan dan laki-laki.

Eh, tapi.. ga, ga semua dari mereka berfikir seperti itu.
Satu diantaranya sangat mendukungku. yah, dia membiarkan aku untuk terbang tinggi dan mencapai langit teratas. Dan, emang kebetulan mimpi dan cita-cita kami sama.
Pada saat itu, kami percaya bahwa kami bisa mencapainya bersama, yah bersama.. aku dan dirinya- walopun dengan jalan yang berbeda,
Namun nyatanya tidak..
Ritmeku berjalan terlalu cepat menurutnya..
Yah, menurutnya begitu.
Aku yang terlalu cepat.
Dan, dia? tidak bisa mengikuti ritmeku dan sangat jauh tertinggal di belakang.

Dengan alasan ini, dia pun mundur, melepaskanku/meninggalkanku untuk terbang sendiri tanpa dirinya, karna (lagi-lagi) menurutnya, akan sangat tidak mungkin bagiku untuk membawa dirinya bersama untuk cita-cita tertinggiku itu. Dia ingin aku terbang setinggi-tingginya tanpa direpotkan olehnya.
Yah, begitu. begitulaahh..
Aku marah. Aku kecewa. (dulu.)

Sekarang, di umurku yang ke-23.
aku sempat memberontak (lagi), namun ada yang berbeda.
Aku mulai mau menyimak, membuka telingaku lebar-lebar dan mendengarkan pendapat orang..dengan sukarela.
Yah, dan kamu datang.
Datang dengan pendapat dan persepsi yang (hampir) sama dengan yang di atas.
Yah, hanyalah hampir karna kamu masih punya pembeda.
Pembedanya adalah kamu tak begitu saja melepasku atau memintaku tinggal.Kamu meyakinkanku bahwa kita dapat terbang ke langit teratas, bersama.
Yah, aku dan kamu.
Kamu memang berbeda dari yang lainnya..
Kamu terlalu fasih menerjemahkan diamku.
Kamu terlalu fasih meredakan dan meninggikan emosiku.
Kamu terlalu rendah hati untuk mengalah untukku.
Kamu terlalu mengerti aku.
Sempat berfikir bahwa kamu egois.
Tapi, tidak. Kamu egois bukan untuk dirimu seorang, tapi untuk kita, bersama.
Yah, aku dan kamu.

Sekarang.
Aku,
yang tak ubahnya adalah pribadi yang keraskepala dan akan selalu seperti itu.
Yakin.
Aku, untukmu.
Yah. begituh..


curi dengar

Gini banget yaa kerja..
mungkin itu sepotong tanya yang mungkin akan terlintas dalam otakku ketika aku menjadi mereka.
Ya, mereka. kaum minor yang ada di tempat kerjaku..
Tempat mereka mati-matian untuk sekedar mengisi perut, bukan hanya untuk mereka, tapi untuk lebih banyak perut yang sedang menunggu mereka di rumah.

Kamu.
Yah, kamu wahai pemimpin.
Dengan semena mengumbar kata, yang pada akhirnya membawa luka untuk mereka.
praduga yang entah dari mana mulanya.
Aku disini, terduduk.
Sesekali aku mendengar pemimpinku berkoar-koar meracaukan semua kecurigaan yang entah berasal dari siapa dan dari mana.
Lalu, diam-diam ada yang menyusup masuk ke dalam tubuhku..
amarah campur dengan rasa iba melihat mereka berada di satu ruangan menyaksikan pemimpinnya melontarkan curiga.
Muka lemas khas puasa yang tergambar dari wajah mereka; ada yang dengan seksama menaruh perhatian; dan ada juga yang dengan jelas-jelas enggan mendengar.
Sedangkan, aku?
lagi-lagi, hanya bisa duduk disini, sembari sesekali mencuri dengar.. mencuri doa.
Agar mereka ini, dilapangkan hatinya..
yah, dilapangkan hatinya.. :(




Pojok Jawa Barat


Hm.. nampaknya aku sudah terlalu lama absen disini ya.
Yah, disini, di tempat favoritku menuangkan keluhkesah-gundahgulana-ku.
 Sekarang aku kembali, hadir untuk menuangkan sedikit kata.
 Sepenggal cerita, sebut saja begitu.

Di pojok Jawa Barat.
Yah, begitulah kiranya..
Aku terduduk dengan segelas teh hangat di depan mata sebagai pembuka dahaga.
Belum, belum juga kuteguk minumku. Yah, kebetulan hari ini adalah hari ketiga di Bulan Ramadhan.
Dan, kebetulan juga hari ini hari pertamaku absen puasa berkenaan istimewanya wanita. Mereka sih gatau. hihi.
Detik detak berdegup menunggu suara bergema.. ya suara adzan pastinya, apalagi? masa suara hatiku.

Bulir air yang turun di pelipis mata sudah bukan barang aneh.
Yaaah.. kamu tau panas di padang Sahara?
Ya walopun gatau, bisa lah purapura tau, demi mendapat sensasi dramatis tentang kota perantauanku.
Cilegon, mereka menyebutnya begitu. Kenapa disebut Cilegon?
Ya, emang namanya wee CILEGON!
Kenapa aku bisa disini? aku juga gatau.
entah angin ribut, angin muson barat, atau angin barat daya, atau bahkan kipas-angin yang bisa ujugujug membawaku ke tempat ini. 
Yang pasti sih, karna aku ngirimi cv ke salah satu perusahaan di daerah ini.
Dan, "mungkin emang rejeki aku yang bawa aku kesini," begitulah jawabku jika ada teman yang bertanya padaku. Ya, walopun gada yang nanya. Aku kasih tau orangorang begitu adanya.

Seperti menekan tombol rewind, dan membawa diri ke masa perantauan di tahun lalu.
Ya, bedanya ini masih Indonesia.
Tapi, entah kenapa rasanya kaya berada di  ujung dunia.. jauh kemana-mana.
Yatapi itu sih bukan perkara hebat bagiku.

*adzanbergema*
akhirnya!
Lekas kuseruput teh di depan mata, demi menghilangkan jejak depan mereka bahwa aku ga puasa.
Ya, walopun begitu, aku tetap ga berdaya.. Belum ada sebiji nasipun yang masuk ke perutku.
Sembari menunggu makanan siap depan meja, aku bagi kata dengan mereka.
Cela, tawa, ya sekelumit cerita yang mampu menggugah sukma, seperti citacita?
mengenai impian terbesarku untuk berkarya?
lintas dunia?
ehe. it's like living a dream within a dream.

Aku tahu..
Mungkin itu hanya bisa menjadi cerita tentang citacita.
Ketika sesal menjadi sebuah tanya, bukan nyata.
Yah, aku yakin sesal itu ada, tapi tak begitu nyata terasa.
Aku hidup untuk citacita diatas citacita tertinggiku.
Bukan hanya untukku, atau sekedar kamu, bahkan kita.
Tapi juga untuk mereka.

"yah.. ada hal yang tak hanya perlu untuk dimengerti.. tapi perlu untuk dihargai"
Cukupilah..
Aku adalah seburuk-buruknya aku, bukan aku-yang-dirimu.
Yah, aku tau.
Buruk, tanpa ada embel-embel rupawan diantaranya.
aku tau, tak perlu kau beritahu.
Terimakasih.

duapuluhsatu januari.

Bulan Januari.
Tertanggal 21 tahun 2012.
Ah, Singapur!
Bukan, bukan itu yang membuat tanggal itu berbeda.

Bukan tempat, atau jarak yang membuatnya terasa berbeda.
Ya, walopun terkadang. Si jarak itu sering ketiban cerca disela pertengkaran yang tengah berlangsung.
Selalu? Ah untungnya tidak.
Barangkali, selama lima bulan terakhir ini, si jarak itu selalu 'eksis' dalam perbincangan kami.
Ya, kami. Aku dan dia.

Oh yah..
Tak ada kami sebelumnya. Tepatnya, sebelum tahun menjadi genap, dan waktu belum menginjakan kaki di tanggal atau bulan yang aku sebutkan di atas.
Ya.. Cuman ada aku tanpa kamu.

Hari itu, tepatnya tanggal 25 Desember 2010.
Ucapan selamat yang hanya sekadarnya itu. Kamu ingat?
Yah, tanpa aku punya rencana dan mengada-ada. Aku hanya membuka kata, kalimat lah pastinya.
Tak pernah sedikitpun terlintas, dalam benak apalagi dalam otakku.
Bahwa, ucapan yang hanya sekadar itu bisa membuat semuanya berubah.

Ya, seperti saat ini.
Aku dan kamu.
Satu?
Ah tetap saja dua.
Tapi hati kita, satu. *hahai*

hahaha..
Kamu tau rasanya?
Sini aku beri tahu.

Semacam alien yang akhirnya menemukan planet untuk dihuni.
Bukan sekedar sementara, ataupun bersinggah.
Tetapi untuk menetap, menetaskan keturunan dan membuat koloni.
Yah begitulah kiranya rasanya.
Paham?
haha.
Sudahlah.

Terimakasih untuk satu tahun yang melelahkan.
Lelah, sayang?
Ah. Kamu pasti bercanda.. hehe.
Aku haturkan terimakasih tanpa lelah untuk kamu, sayang.
Tetaplah seadanya, tanpa dilebih-atau-dikurang-kan.
Tetaplah seperti itu.
Aku sayang kamu.

Teruntukmu, kawan.

Dengan inilah aku membenci malam.
Dingin, senyap, tak berkawan.
Ada sih kawan. Yah, cuman AC yang masih bekerja keras tanpa lelah untuk sekedar memberi udara segar terhadap kamar yang sedikit terasa pengap.
Pengap karena udara yang semestinya bebas berhamburan, kini mulai habis terpakai oleh diriku seorang.
Yah ini karena si malam yang telah membuat aku terjaga semalaman.
Jadi, jangan salahkan aku.

Aah..malam!
Aku benci senyap.
Dengan demikian, aku seakan tak berkawan.
Atau memang tak berkawan?
"Aku punya kawan tau!" Elakku.
Yah, kawan yang 'dulu' selalu terselip di sela hariku.
Kata-kata tak penting, cerita tak penting.
Begitulah, Aku dan kawanku.

Tapi Malam ini.
Dan mungkin, malam sebelum dan setelahnya.
Aku selalu merasa enggan untuk membuka kata.
Bahkan untuk sekedar "apa kabar?" saja rasanya.. Entahlah!
Seperti tercekat oleh keengganan dan keseganan.

Hm..
Tak pernah terpikir olehku malam akan sesenyap ini.

Aku ingin semua menjadi sebiasanya.
Seperti "dulu"?
Ah ya..
Ketika aku selalu menyelipkan mereka di sela hariku.
Disela kata yang akan aku bagi pada mereka.

Aku ingin semua menjadi sebiasanya.
Seperti "dulu"?
Ya..
Ketika aku merasa rindu.
Dan, tanpa 'keengganan' ataupun 'keseganan', aku sampaikan rindu pada mereka.

Namun, sekarang.
Ya.. saat ini.
Malam begitu senyap.. tak berkawan.
Aku pun tetap merasa enggan, segan untuk sekedar berujar,
"Aku rindu,kawan."