seketika diam.

Beginilah rasanya.
Tinggal jauh dari rumah semacam dalam perantauan.
Rasanya hampa.
Seperti kehilangan gaya gravitasi yang mampu membuat kita berpijak dengan tegap.
Sekarang, terasa gontai.

sedih?
Yah, tak usah dibahas lah kiranya.
Akan butuh berjuta kata untuk melukiskan kesedihan ini.

Aaahh.. badan yang sangat terlalu lama diatur pergerakannya, sekarang dengan semena-mena dipaksa untuk bekerja keras.
Dia protes?
Tentu saja.
Bukan barang sekali atau dua kali dia menunjukan protes itu.
Tapi apa daya, diri ini selalu mengalah untuk berpura-pura kuat.
Seolah memaksa diri untuk melepas kefemininan yang ada dan dengan terpaksa memasang topeng kemaskulinitasan sebagai gantinya.
Kuat?
Ah, semestinya diri ini bisa mengakui akan kelemahan yang dipunyai.
Kenapa harus berpura-pura?
Kenapa harus merasa kuat?

Seketika. Semua itu hancur.
Kepura-puraan itu. Kekuatan itu.
rapuh, ambruk.
Badan yang terlampau letih karena digeruss terus-menerus.
Dipaksa untuk berbohong.
Dipaksa untuk merasa kuat.

Sekarang, dia pun jujur.

Saya merasa letih.
Saya butuh ketenangan.
Saya bosan dengan kepura-puraan.
Biarkan saya untuk sejenak diam.
Tanpa ada paksaan. Tanpa ada tekanan.

Terimakasih.