untuk sepotong tanya.

Aku pernah bilang kan kalo aku lebih suka menulis ketimbang berbicara?
Untuk tanya yang terlontar mungkin aku biarkan tetap menjadi pertanyaan..
Disini, mungkin aku akan memberikan beberapa jawaban mengenai alasan..
Yah, alasan terkait cita-cita dan mereka.

Mari ikuti aku merunut mundur..
Kembali pada aku dengan pribadiku yang pemberontak.
Yah, aku memberontak dengan keadaanku sebagai perempuan.
Apa yang salah?
Bukan wujud atau kodratku yang terlahir sebagai perempuan, bukan.. bukan perkara itu.
Hal ini lebih condong pada persepsi atau pandangan sebagian besar orang terhadap perempuan.
Ya, termasuk kedua orangtuaku yang sering berkoar-koar mengenai ketentuan hidup sebagai perempuan bahwa tidak lah perlu terlalu ngoyo atau ambisius dengan cita-cita.
Yah, jujur saja aku ini dulu orang yang ambisius.. ambisius dengan cita-citaku lintas negara dan menjadi paling baik.. bukan hanya baik loh ya.
Baik dalam artian aku bisa mengembangkan semua kebisaan yang dititipkan padaku di kemudian hari.
Begitu inginnya aku bisa ini-itu, dimulai dari les vokal, les tari, les bahasa, les berhitung, tapi tidak dengan les menggambar. Yah, itu kelemahanku dari dulu, urusan menggambar, angkat tangan dan angkat senjata.
Dari kecil aku tidak biasa dipaksa, yah semua les-les yang aku ikuti emang berdasar pada keinginanku. Ga pernah tuh orangtua ku dengan sengaja menyuruh atau mendaftarkan aku untuk mengikuti kursus atau les.
Yah, ga pernah sama sekali.
Dimulai dari sekolah dasar, aku sudah tau kalo aku jatuh cinta sama Bahasa Inggris, yah dari dulu nilai untuk pelajaran ini memang sangat menonjol.. Guru-guru sering mengikutsertakan aku lomba pidato atau cerdas cermat dalam bahasa Inggris, ya walopun emang ga menang.. hhe. Saat aku menginjak kelas 3 SD aku minta ayahku untuk mendaftarkanku ke Cinderella, ya sebuah tempat les bahasa Inggris.
Ini murni keinginanku. Dengan jarak yang cukup jauh dari rumah nenek, ayahku sempat ragu untuk mendaftarkanku, tapi berhubung sudah tau sifat anaknya yang keras-kepala. Akhirnya, aku les, sendiri. Tanpa aku mengajak teman, dan peduli kalo aku sendiri. "Sebodo amat yang penting aku mau les." Begitu pikirku dulu.

Dari situ aku semakin jatuh cinta dengan Bahasa Inggris, dan makin, makin, makin, berambisi untuk pergi lintas dunia.

Tibalah, aku pada masa kuliah.
Yah, jalan-Nya sudah membawaku semakin dekat dengan cita-citaku, (atau memang otakku saja yang tidak menunjang untukku masuk ke Farmasi.. hha)
Ya, Aku masuk di sebuah fakultas Sastra dengan jurusan Sastra Inggris.
Dari sinilah aku mulai tercekoki oleh pembahasan terkait pandangan atau paradigma mengenai perempuan dan laki-laki.
Dan saat itulah, aku menjadi pemberontak.
Saat aku dan ibuku berbincang mengenai masa depan dan dengan santainya Ibu bilang bahwa, "Ga usahlah kita (sebagai perempuan) terlalu mengejar cita-cita, kalo laki-laki barulah haruuss.."
Mendengar kalimat itu, otak dan hati langsung berasa panas, yaah.. aku marah.
aku ga terima pendapat itu, aku ga suka pendapat itu.
Hidup bukan perkara perempuan dan laki-laki.
"Hidup adalah hidup itu sendiri," pikirku.
Aku jelaskan pada ibu bahwa aku akan mengejar citacitaku setinggi apapun.
YAH! itu janjiku pada diriku saat itu. (pada saat itu mungkin aku baru menginjak umur 20 tahun, masih imut lah).

DAN, mereka.
Yah, mereka.
Seperti tanya yang kalian lontarkan padaku tentang mereka dan alasan mengapa aku begini, aku begitu.
Yah, mereka. sama dengan ibuku.
Seperti itu.
Hidup menurut mereka adalah perkara perempuan dan laki-laki.

Eh, tapi.. ga, ga semua dari mereka berfikir seperti itu.
Satu diantaranya sangat mendukungku. yah, dia membiarkan aku untuk terbang tinggi dan mencapai langit teratas. Dan, emang kebetulan mimpi dan cita-cita kami sama.
Pada saat itu, kami percaya bahwa kami bisa mencapainya bersama, yah bersama.. aku dan dirinya- walopun dengan jalan yang berbeda,
Namun nyatanya tidak..
Ritmeku berjalan terlalu cepat menurutnya..
Yah, menurutnya begitu.
Aku yang terlalu cepat.
Dan, dia? tidak bisa mengikuti ritmeku dan sangat jauh tertinggal di belakang.

Dengan alasan ini, dia pun mundur, melepaskanku/meninggalkanku untuk terbang sendiri tanpa dirinya, karna (lagi-lagi) menurutnya, akan sangat tidak mungkin bagiku untuk membawa dirinya bersama untuk cita-cita tertinggiku itu. Dia ingin aku terbang setinggi-tingginya tanpa direpotkan olehnya.
Yah, begitu. begitulaahh..
Aku marah. Aku kecewa. (dulu.)

Sekarang, di umurku yang ke-23.
aku sempat memberontak (lagi), namun ada yang berbeda.
Aku mulai mau menyimak, membuka telingaku lebar-lebar dan mendengarkan pendapat orang..dengan sukarela.
Yah, dan kamu datang.
Datang dengan pendapat dan persepsi yang (hampir) sama dengan yang di atas.
Yah, hanyalah hampir karna kamu masih punya pembeda.
Pembedanya adalah kamu tak begitu saja melepasku atau memintaku tinggal.Kamu meyakinkanku bahwa kita dapat terbang ke langit teratas, bersama.
Yah, aku dan kamu.
Kamu memang berbeda dari yang lainnya..
Kamu terlalu fasih menerjemahkan diamku.
Kamu terlalu fasih meredakan dan meninggikan emosiku.
Kamu terlalu rendah hati untuk mengalah untukku.
Kamu terlalu mengerti aku.
Sempat berfikir bahwa kamu egois.
Tapi, tidak. Kamu egois bukan untuk dirimu seorang, tapi untuk kita, bersama.
Yah, aku dan kamu.

Sekarang.
Aku,
yang tak ubahnya adalah pribadi yang keraskepala dan akan selalu seperti itu.
Yakin.
Aku, untukmu.
Yah. begituh..


No comments:

Post a Comment