kesalahan dalam menulis.

Ketika kamu menulis, kamu setidaknya melalukan kesalahan.
Lalu, bagaimana cara kamu memperbaikinya?

1. Apakah kamu akan menuliskan pembenarannya diatas yang salah tanpa berusaha menghapusnya? Ya. Hanya menimpahnya saja, mungkin?

2. Apakah kamu akan menghapusnya sedimikian rupa (hingga kesalahan sebelumnya tak nampak). Lalu, kamu akan menuliskan pembenarannya di tempat yg sama?

3. Apakah kamu akan mengambil kertas baru, lalu menulis ulang kembali. Tetapi, kamu tetap menyimpan kertas dengan kesalahan itu sebagai acuan untuk tidak melakukan kesalahan yg sama?

4. Ataukah kamu akan ambil kertas baru, dan membuang kertas dengan kesalahan itu. Lalu menulis ulang kembali dan berusaha menghindari kesalahan yang sama?

Ok, mana yang kamu pilih?
ah!

*damri, pengamen, dan tulisan tidak jelas*

Thank God

Oh, thank God!
Karena telah menciptakan manusia dengan organ/alat/kelengkapan yang bisa mengecap rasa.

Sebelumnya mungkin saya sangat berharap : Manusia, dengan otaknya saja.
Tanpa adanya perasaan, mungkin akan sangat aman dan nyaman.
Tidak mengecap rasa ter-pahit-i, ter-manis-i,ter-asam-i, ter-asin-i, ramai rasanya! (macam nano-nano)
Tidak mengecap rasa tersakiti.
Tidak mengecap rasa terbohongi.
Dan ter-i ter-i lainnya. (Yah, bisa dipikirkan sendiri lah itu mah)
Yah, dulu saya sangat berharap seperti itu.
Manusia, tanpa perasaan.

Tapi lalu saya berpikir.
Apa jadinya kalo kita manusia tanpa perasaan?
(Lah, wong binatang aja punya perasaan ya?)

Oh, yes. Thank God!
Karena dengan ini,
saya bisa merasa takut.
Ya. "takut"

Rasa "takut" inilah yg nantinya membentuk suatu kontrol akan kuasa dalam bertindak.
Kontrol diri dalam mengsinkronisasikan logika dan perasaan.
Kontrol diri dalam memilih, memilah dan memutuskan.
Yang akan menjadikannya 'bijaksana' ketika 'kontrol' itu digunakan secara tepat.

Mudah?
Tidak.
Saya tahu itu tidak mudah.

Tapi, untuk sekedar 'tahu' mungkin saja mudah!
hm.. ya saya mengerti itu.

Tapi, untuk 'mengerti' itu tidak mudah!
Hm.. Yah?
Baiklah.. saya paham kalo begitu.

eh, apalagi untuk 'paham', itu sangatlah tidak mudah!

Yah yah yah.. Baiklah!
'tahu', 'mengerti', 'paham'
semuanya tidak mudah.
Karena kalo mudah,
Gundah saya meredaaah.
dan Semua jadi indaah.
macam manaaah !

Ah. sekarang kesadaran saya sudah melemah.
Ya sudah lah !
Saya ucapkan dadah sajah.
dadaaaahhh !

ketidak-bermaknaan kata

Sekonyong-konyong mempermainkan kata.
Oke ulangi, memainkan kata dengan sekonyong-konyong menyandingkannya dengan kata lain, yang menghadirkan ketidak-bermaknaan. Namun, tetap membuatnya seolah bermakna. Yah, mungkin seolah sangat bermakna.
Dan yah, 'seolah' itu membuatnya menjadi 'ada' atau 'nyata ada'

Sebuah fasilitas 'pesan singkat' yang memberi ruang untuk dituangkannya kata-kata.
Hal ini membuat kami (saya dan dia) bebas menulis (lebih tepatnya mengetik) kata-kata yang ingin kami tulis (ketik). (Yaiyalah yaaa..)
Diawali dengan sebuah sapaan sebiasanya.
Berbincang mengenai masalah buku, lalu beralih pada salah satu boyband ter-favorit yang sambil lalu merembet pada ke-KURANGNORMAL-an suatu gender.
Yang membuat kami mengakhirinya dengan sebuah doa.
Doa yang sebenarnya tidak ada relevansinya dengan masalah yg kami bincangkan.
Yah, sekedar ingin berdoa saja mungkin.

Berdoa mulai.. "Allahuma bariklana fiima razaktana wa kina adzabannar"

Disinilah kami mengawali balas-membalas kata yg tersusun sedemikian rupa menjadi kalimat yang tanpa peduli pada kebermaknaan.

Nyatanya, yah.. Ini, inilah sebahagian tulisan kami.
Mungkin kelihatannya hanya kumpulan kata yg tidak bermakna (ya emang begitu adanya).
Tap sekali lagi tapi, ketidak-bermaknaan inilah yg membuatnya menjadi 'ada makna' (saya tidak ingin menyebutnya 'bermakna') kenapa? (Ya, karena saya inginnya bilang kayak gitu aja)
Maksudnya? (Ya gada maksud apa-apa)
Hanya ingin seperti itu..

diawali dengan kalimat,
"Dan smoga tutut brhnti uteuk uteuk" (sapaan yg sebiasanya digunakan)
Balasan yg berbunyi,
"kalo tutut berhenti uteuk-uteuk, mati dong berarti"
Dari sinilah awal mula, balas-membalas kata.
Inilah ini, sepotong syair puisi.
(Yah, let's say begitulah ya, karena saya inginnya begitu)

Bukan,tp pura2 mati,
mati dlm kepura-puraan.

Lalu hinggap dalam keputus asa-an,
sehingga lenyap dalam kehampaan.

Dan terkubur dalam keter-lunta-lunta-an,
harapan pun serta-merta menguap.

Lalu menjadi gemercik kebatilan,
yang berujung pada kenistaan.

Namun tetap d rundung pundi pundi kenikmatan,
yg terhalang oleh kenisbian.

Ya, kenisbian yang begitu kental dan ketat.
Rasa hati ingin mencoba berang, namun apa daya.

Apa daya berang telah melengkung dan lengket,
Membuatnya tetap melekat pada kebebalan.
Dan lelah menghindar pada kemunafikan,
Yang pada akhirnya membuat-nya menyerah pada kejujuran.

Andufala.. Aku sampaikan sabda batu kepda api.. Engkau lah wanita berkalung tutut.

See?
haha. Klo kalian lihat mungkin seolah tak bermakna.
Tapi justru kami (atau mungkin hanya saya) membuatnya seolah bermakna.
Dan, yah seperti yang saya bilang sebelumnya.
Bahwa 'seolah' itu telah membuatnya 'ada' atau 'nyata ada'

Jadi, ya itulah ketidak-bermaknaan.
artinya?
(Ya, gada arti apa-apa. Kan namanya juga ketidak-bermaknaan. Jadi, ketidak-adaan arti)

*ngetik ngasal sambil mengemil di malam hari itu sangat berbahaya bagi kesehatan*
(Mohon jangan ditiru)