nada irama

bicara persoalan nada dan irama,
mereka sudah begitu familiar untukku, terutama telingaku.
iya, sedari kecil, ayahku sudah begitu kerasnya berusaha memperkenalkan aku untuk sedemikian dekat dan akrab dengan mereka.
usaha demi usaha dikerahkannya demi aku..
dan ya ternyata aku dengan sukarela menerima keberadaan mereka dalam hidupku.
cukuplah sampai saat itu.
lanjutnya, usaha ayah aku ambil alih,
yaitu dengan inisiatif untuk mengikuti les vokal.
untuk tahap pertama, les vokal berjalan dengan cukup baik.
leganya diri ini mampu menyerap materi seperti teknik pengambilan nafas untuk menghasilkan suara yang variatif. begitupun dengan tahap-tahap selanjutnya.
"aku cinta dengan mereka,"
begitulah kiranya kalimat yang bisa aku cetuskan dalam pikiran pada saat itu.

waktu demi waktu aku jalani bersama mereka.
bukti nyatanya adalah keikutsertaanku dengan grup paduan suara yang ada di sekolahku, dan juga kompetisi.
ya meski begitu, ayah lah yang bersikeras mengikutsertakan aku di setiap kompetisi..
pikirku dulu, kecintaanku untuk nada dan irama cukup untuk aku seorang, tanpa harus membuatnya menjadi sebuah kompetisi.
tapi yah tapi, kecintaanku tersebut telah membangkitkan obsesi ayahku.
hm eheh, yaa.. seperti menjadikan anaknya menjadi seorang penyanyi.
haha.. lucunya saat itu,
semakin keras usaha ayah untuk mewujudkan obsesinya, semakin kuat tolakanku dan menjauhlah aku dari mereka..
iya, begitulah aku.
sedari dulu, aku sudah benci dengan paksaan..
kesukarelaanku telah menghasilkan sesuatu di luar prediksiku.
obsesi?
kompetisi?

tahun berjalan..
aku semakin enggan menunjukkan kebisaanku depan orang banyak..
menunduklah aku pada ketidakpercayaan-diri.
aku jalani hidupku tanpa kompetisi.
tanpa kehilangan kecintaanku pada nada dan irama,
aku tetap menjaganya,
yah, tanpa harus aku bagi untuk khalayak.

kini,
iya, sampai saat ini.
dan kali ini, aku mendapati mereka kembali.
di sini,
ada garis lengkung yang pada akhirnya mengembang.
di sini,
parahnya aku seringkali dibuat galau.
di sini,
emosi meluap karnanya.
sedih. senang. tanpa alasan.
ah sudah tau alasannya mereka.
ya, begitu magisnya nada dan irama,

mereka begitu dekat, ah, terlalu dekat.

tanpa tolakan yang sebelumnya bisa aku ciptakan,
menyusup masuk ke sini tanpa adanya permisi.
begitu jahat? terlalu baik agaknya.
puji untuk nada dan irama ini tak terbantahkan.
syukur karnanya.


kali ini,
nada dan irama bukan hanya familiar dan akrab untuk telingaku.
tapi juga hatiku.
demikian jujurku.



perahu kertas

"tertampar" ya begitulah rasanya.

sebuah layar putih dan lebar terpasang di hadapan.
hari itu, barisan bangku-bangku tak begitu banyak ditempati.
hanya beberapa gelintir anak muda yang ada disitu.
ya, aku ada diantaranya,
duduk bersila di atas bangku penonton dengan posisi tangan yang penuh dengan makanan.

layar di depanku sudah tidak putih lagi,
ada sesuatu disana..
ada orang yang sedang membuka kata untuk menjadi cerita,
dan aku, berada di tempatku dengan mata yang tertuju pada layar yang sudah tak putih itu, sembari sesekali memasukan kentang goreng dan burger ke dalam mulutku dengan membabi-buta.
katanya orang sih layar itu akan menampilkan sebuah cerita, yang juga katanya diambil dari sebuah novel hasil karya anak bangsa.
tapi,
bukan.. bukan itu yang nyatanya aku lihat.
sesuatu di sana, seseorang di sana, tampak sudah tak asing lagi.
dengan seksama aku mengamati layar dan orang yang ada disana.
bukan, itu bukan cerita, orang itu bukan dia,
tapi aku?
entah bagaimana caranya aku berada di sana.
itu aku?
kata-kata yang berkelebatan.. kegundahan yang terselip.. mimpi yang nyata ada di sana..
semuanya memang begitu.
iya, begitu.
seperti itu.

ada rasa yang tidak bisa aku ungkap dan gambarkan di "sini".
dan di sana?
semuanya begitu nyata menamparku.
pipiku tiba-tiba merasa hangat, rupanya ada yang baru saja mengalir di sana.
dengan perlahan aku benamkan badanku, menyilangkan tangan demi mendekap kakiku..

aku sudah tidak ada di sana, ternyata.
ya di tempatku.
aku lenyap.
layarpun lenyap.