Logika (dan Perasaan)

Logika menuntut manusia berpikir logis tentang masa depan. Emosi psikologis yg timbul dari perasaan yg membuat batasan-batasan tertentu berdasarkan persepsi. Rasa takut, perasaan tidak mampu, dan sebaliknya dan sebagainya. Dalam dunia logika, abu-abu (ketidakpastian) menempati sedikit sekali ruang untuk bertahan. Dalam statistika, gray area dijelaskan sebagai "pencilan" atau kita mengenalnya sebagai standar error alfa 0.5

Perasaan sangat mengenal logika sebagai opposite-nya, maka ketika kamu bertanya apakah dia mengenal logika. Ia akan menjawab: "Ya, saya sangat mengenalnya. Ia adalah mahluk paling tidak berperasaan di muka bumi ini. Pertimbangannya melulu soal matematika dan epistemis semata! Saya tidak menyukainya.."

Ketika kamu mempertanyakan "kenapa si logika menjawab dengan singkat sedangkan si perasaan menjawab dengan panjang lebar?"

Saya pikir logika menjawab lebih panjang ketimbang perasaan. Perasaan tidak berbicara apapun kecuali dengan diam. Dengan logika kita berpikir secara epistemis dan berdasar kepada premis-premis kuat yg membentuk hipotesis. Ia menuntun kita pada perincian-perincian baku soal bagaimana agar segalanya berjalan sesuai dengan keinginan kita. Dan ini samasekali tidak membuatmu diam. Sedangkan perasaan melihat dunia yg tidak dapat terjangkau logika.
Orang menyebutnya "kecerdasan intuisi".
Kita melihat masa depan dengan berbagai asumsi-asumsi dengan keberpihakan terhadap logika ataupun sebaliknya. Kita memaafkannya, sebagaimana kita memaafkan ketidakpastian dunia akan hari esok.
"Apakah esok matahari akan terbit seperti hari sebelumnya?"
-Adam Smith-

"Dunia tampak tidak berujung, namun tetap hanya tuhan yang tau ujungnya.."
Hey! Semesta adalah kepalamu. Engkaulah yg menentukan batas-batasnya..
Semesta adalah tempat bagi keduanya: logika dan perasaan bersatu untuk memahaminya dengan segala keterbatasan mereka.

"Logika akan memilih salah satu yg lebih penting, namun perasaan sangat mempertimbangkan kepentingan keduanya"
Logika memiliki kode instruksi: mempertahankan hidup, dalam kasus yg lebih luas, logika memperbesar cakupannya menjadi ekspansi. Penting baginya adalah benar menurut pandangannya. Sedangkan perasaan bekerja secara terselubung. Gagasannya mengenai hidup bergantung pada banyak faktor penunjang seperti misalnya kondisi ekonomi, pendidikan dan lingkungan.

"Dan saya memilih untuk membuatnya sebagai masalah, karna hidup itu masalah..Dan saya akan mencoba membuat warna ABU dari warna HITAM dan PUTIH.."
Diri ini, adalah tempat segala hitam dan putih bersatu membentuk warna-warna. Tidak hitam, tidak putih, tidak abu-abu. Tuhan tidak menciptakan hitam dan putih semata-mata hanya agar ada abu-abu. Warna hidup adalah hidup itu sendiri.

Ketidakberpihakan diri antara logika dan perasaan membuat hidup melaju seperti apa adanya. Kecerdasan SPIRITUAL, dengan caranya yg alami dan berproses melalui transedensi dan penghayatan mendalam tentang keTuhanan, seharusnya dapat menengahi antara logika dan perasaan..Sehingga hidup bagi manusia dapat mengerucut menjadi soal-soal dimana kita:
Mengetahui di ke-tahuan kita, dan
Mengetahui di-ketidaktahuan kita.

Kemudian menyikapi hidup dengan kepala tegak dan berbesar hati.

Kita, dengan sendirinya adalah causa dari sederet adegan yang pernah terjadi sebelumnya.. Proses konkrit semesta yang dengan campur tanganNya, kita menjadi ADA.

[pergumulan yang lalu dikomentari oleh aa prima]

perbincangan sadistik di pagi buta.

Larut malam,
tumbang. Kata-kata, tertahan.
Mata, perlahan tenggelam.

Pagi buta.
Pukul enam.
Kata-kata, mulai saya tata.
Dengan mata yang sekadarnya.

"Apa sih bijak itu, a?"
(Agaknya pagi-pagi bahas masalah macam begitu cukup bikin orang pengen ngais-ngais tanah)
Tapi gak tuh buat aa prima, yang dengan sabar menampung semua kekonyolan saya di pagi buta. haha (maaf ya a)

"hm.. Bijak ya?" tanya aa.
(sepertinya mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia sedang disodori pertanyaan konyol di pagi buta)
'Manusia dewasa kadang berlaku seperti anak kecil. Berlari-lari dengan persepsinya sendiri. Mereka tidak cukup pengetahuan, atau berbesar hati menerima kenyataan bahwa kebijaksanaan level tertinggi justru dengan memandang segala sesuatunya sebagai sudah semestinya. Lalu membiarkan segala sesuatunya itu menurut persepsi-Nya'
Kita punya pertimbangan-pertimbangan hasil olah otak dan nurani. Hasilnya percabangan di tingkat persepsi. Karena segala awalan dari pemikiran orang tidak sama maka BENAR dan SALAH tidak semudah membedakan warna PUTIH dan HITAM. Selalu di tingkatan yg lebih tinggi, manusia menyerahkan penilaian itu pada sang pencipta (dari sisi spiritual)
Ya.. Dalam evolusi manusia, etis (yg berasal dari persetujuan org banyak) manaiki tingkatan yg lebih tinggi bernama hukum. Hal-hal demikian mempertimbangkan benar dan salah melalui penafsiran dan kepentingan orang banyak. Tapi moral berada di tingkatan dimana hukum dan etis tidak lagi bisa menjangkaunya secara formal..
Itulah hubungan manusia dengan khaliknya yg tidak bisa dicampuri urusan2 manusia..
(yah.. yaaahh.. yaahh..huaammmhh.. begitulah jawaban aa mengenai pertanyaan saya yang cuma secuil, tapi penjelasannya mbok' ya kurang panjang.. blah !)

Dan, yaah. oke lah !
Kiranya saya punya kesimpulan sendiri.
Bijak, ataupun adil.
ketika dasar pertimbangannya adalah persepsi pribadi. Hal itu tidak bisa berlaku, atau mungkin kurang berterima.
Karena, sekali lagi, bijak atau adil, benar atau salah, adalah bukan tataran kita untuk memberi penilaian.
Yah, sekali lagi, penilaian pribadi » persepsi pribadi .
Yang nantinya mengutamakan kepentingan pribadi.
Sadar ataupun tidak, kamu memang akan melakukan hal itu.

Jadi jadi jadi.. jangan menganggap bahwa diri kamu benar dengan persepsi yang kamu anggap benar. Pun jangan menganggap diri kamu salah dengan persepsi yang kamu anggap benar.
yasudahlah yaahh..

huaaaahhmmm... ngantuk juga ya bahas masalah beginian pagi-pagi.
yuk mari kita lanjut (tidur) lagi !