School is no more Fun as it was.

Sekolah.

Apa sih yang pertama kali kalian ingat ketika kata itu muncul?
Kalo buatku sekolah adalah rumah kedua untukku,
rumah yang bisa menjadi tempatku bermain, juga tempat aku dididik untuk menuntut ilmu.
Di rumah itu diisi oleh aku sebagai siswa dan sosok anak, guru yang merupakan sosok orang-tua keduaku, dan juga teman-teman yang menjadi keluarga besarku.
Semenyenangkan itulah gambaran sekolah pada jamanku.
Iya, aku juga dijejali banyak pelajaran dan pekerjaan rumah, tapi itu justru yang membuatku candu.
Hingga pada saat guruku lupa memberikan pekerjaan rumah, aku dengan sukarela menagihnya, dan kesalku dibuatnya jika tidak digugu.
Semenyenangkan itu belajar buatku kala itu.
Waktu belajar di sekolah juga panjang, dari hari Senin hingga Jumat, dan juga hari Sabtu yang diisi oleh kegiatan ekstrakulikuler, pukul tujuh hingga satu.
Tapi aku tak jemu karena itu, justru rindu jika tak bertemu.
Iyalah, dengan teman dan guruku tentunya.

Sekarang?
Bukan seperti rumah buatku dulu.
Sekolah telah beralih fungsi, bukan tempat untuk menuntut ilmu seperti dulu, tapi tempat mengadu ilmu.
Siswa sudah tidak dianggap sebagai sosok anak, yang sepatutnya dididik,
karena untuk bisa masuk sekolah dasar saja, mereka dituntut untuk sudah bisa membaca dan menulis,
Jika tidak? ya tidak bisa daftar sekolah.
Lalu guru? tinggal menunggu.
Itu yang kutahu.
Semengerikan itu sekarang sekolah buatku.
Belum lagi, kurikulum yang dibuat setinggi langit, dengan cita-cita untuk menyetarakan kualitas siswa di sini dengan mereka yang di luar sana (entah luar negeri atau luar planet).
Dengan istilah sistem pembelajaran"HOTs" (High-Order Thinking Skill) dan "LOTs" (Low-Order Thinking Skill), yang lagi-lagi, bercita-cita untuk meningkatkan level kualitas siswa jaman now, sehingga tidak hanya sekadar mengetahui dan memahami, tapi juga bisa  menganalisa dan mengevaluasi suatu persoalan.

Contoh Soal HOTs - level SD


Untuk sebagian besar masyarakat mungkin setuju dengan ide sistem pembelajaran seperti di atas, tapi buatku nanti dulu.
Istilahnya bikin ngeri-ngeri, sedep, 
bagian dari cita-cita luhur dan mulia, sebenarnya,
Tapi, lagi-lagi, perlu sasaran dan tempat yang tepat, terlalu dini jika hal tersebut langsung diterapkan dari level sekolah dasar.
Kenapa? Karena stigma yang didapat dari belajar di sekolah akan menjadi negatif bagi para siswa SD.
Bikin pusing, bikin stress, bikin ga rindu sekolah,
Kenapa? Karena terlalu berat, mereka ga akan kuat, sana kamu saja! (deeeeuuhh.. )
Ya namanya juga Sekolah Dasar.
Ya idealnya, mereka juga belajar dari level terdasar, cukup di level mengingat, mengetahui dan memahami saja dulu.
Untuk kreatifitas dan pemecahan masalah, tinggal disisipi keterampilan & kerajinan tangan, ekstrakulikuler (menari, membaca puisi, olahraga, pramuka).
Di level ini, buatlah sekolah menjadi semenyenangkan seharusnya, membuat nyaman, dan bisa dirindukan.


Intinyaaa siiiihh, semua butuh bertahap.
Bayi sebelum makan nasi juga makan yang lembek-lembek dulu, bubur, tim, baru lah makan nasi.
Kalo langsung makan nasi, gimana?
Ya boleh-boleh aja, tapi pasti sistem pencernaannya bakalan keganggu, entah jadi sembelit atau malah jadi mudah-berak (mencret).
Pertumbuhan motorik anak pun bertahap, dimulai dari tengkurep, merangkak, berjalan dengan bantuan, sampai mahir berjalan sendiri, sehabis itu melesat sendiri, berlari.
Begitupun idealnya dalam hal belajar.
Gitu gak?
Ya gitulah pokoknya. 



Akan dirasa sangat berbeda jika hal tersebut diterapkan di middle level, yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP). 
Right Time, Right Place, Right Goal.

No comments:

Post a Comment